1.) Proposisi
dalam Ilmu Sosial
Proposisi
adalah hubungan yang logis antara dua konsep. Dalam pengertian lain, proposisi
adalah kesimpulan teoritik konsepsional tentang konstelasi hubungan antar
variabel sebagai jawaban teoritik. Proposisi merupakan ungkapan atau pernyataan
yang dapat dipercaya, disangkal atau diuji kebenarannya, mengenai konsep atau
konstruk yang menjelaskan atau memprediksi fenomena-fenomena. Proposisi yang
dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara empiris disebut hipotesis.
Kegunaan Proposisi dalam metodologi
penelitian merupakan ungkapan atau pernyataan yang dapat dipercaya, disangkal
atau diuji kebenarannya, mengenai konsep atau konstruk yang menjelaskan atau
memprediksi fenomena.
Ada dua tipe proposisi yaitu : Aksioma atau Postulat, yaitu proposisi yang kebenarannya tidak perlu
dipertanyakan lagi, sehingga tidak perlu diuji dengan sebuah penelitian. Lalu
tipe yang kedua yaitu Teorema,
proposisi yang dideduksikan dari aksioma. Aksioma banyak digunakan dalam
ilmu-ilmu eksakta sedangkan dalam ilmu sosial aksioma sangat jarang, karena
yang menjadi perhatian peneliti adalah teorema inti. Jenis-jenis proposisi
terbagi menjadi empat jenis, yaitu proposisi berdasarkan bentuk, sifat,
kualitas, dan kuantitas.
Berikut
ini adalah contoh proposisi dalam ilmu Sosial yang saya buat sendiri :
a.)
Ojek Online di Kota Bandung dilarang karena perizinannya yang kurang jelas
b.)
Setya Novanto berpura-pura sakit untuk menghindari status tersangka atas dugaan
kasus E-KTP
c.)
Kasus ‘Bayi Debora’ terjadi akibat kelalaian pihak administrasi BPJS di rumah
sakit tempat Debora merujuk.
2.) Pandangan
Para Ahli terhadap Teori Konflik, Teori Struktural Fungsional, Teori Interaksi
Simbolik, dan Teori Pertukaran Sosial
A. Teori Konflik
Menurut pemikiran seorang ahli
bernama Lewis Coser dalam bukunya
yang berjudul The Fungtions of Social
Conflict (cetakan asli tahun 1956).
Istilah
konflik sosial pada umumnya mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan
antar pribadi melalui konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan
internasional. Lewis Coser dalam bukunya yang berjudul “The Fungtions of
Social Conflict”, mengemukakan bahwa tidak ada teori konflik sosial yang
mampu merangkum seluruh fenomena tersebut. Oleh karenanya ia tidak ingin
mengkonstruksi teori umum, tetapi ia ingin karyanya sebagai suatu usaha untuk
menjelaskan konsep konflik sosial serta mengkonsolidasikan skema konsep sesuai
dengan data yang berlangsung dalam konflik sosial tersebut. Caranya adalah
membuat elaborasi dan menggambarkan wawasan serta ide-ide yang ditarik dari
karya George Simmel.
Pandangan Coser tidak lepas dari
tidak lepas dari kritiknya atas sosiologi Amerika waktu itu yang mulai
melupakan pembicaraan konflik. Para sosiolog Amerika yang ramai-ramai
mengembangkan fungsionalisme telah menggeser tradisi berpikir sosiologi
sebelumnya yang berbentuk sosiologi murni menuju corak sosiologi terapan (applied
sociology). Dalam bukunya “The Fungtions of Social Conflict” Coser
mengkritik gagasan-gagasan Parson yang lebih mengupas mengenai keseimbangan dan
konsensus dibanding membahas mengenai konflik secara mendalam.
Coser memulainya dengan
mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan
pengakuan tergahap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber
pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan, atau dieliminir saingan-saingannya.
Dengan definisi semacam ini hal-hal yang esensial tidak perlu dipertentangkan.
Tetapi ini berarti bahwa perhatian terhadap pernyataannya dan implikasinya
merupakan suatu permasalahan yang lain, sebab dengan pernyataan itu menunjukan
bahwa Coser telah menggunakan istilah yang problematis dan samar-samar, tidak
kritis serta menggunakannnya dalam asumsi-asumsi fungsionalisme. Perhatian
Coser berkaitan dengan fungsi dan disfungsinya konflik sosial. Jadi dapat
dikatakan bahwa konsekuensi konflik bukan mengarah pada kemerosotan melainkan
peningkatan, adaptasi dan penyesuaian baik dalam hubungan sosial yang spesifik
maupun pada kelompok secara keseluruhan.
Coser menyatakan bahwa konflik
sosial seringkali diabaikan oleh para sosiolog, karena mayoritas cenderung
menekankan konflik pada sisi negatif yang telah meremehkan tatanan, stabilitas,
dan persatuan atau dengan kata lain menggambarkan keadaan yang terpecah-belah.
Coser ingin memperbaikinya dengan menekankan konflik pada sisi positif yakni bagaimana
konflik itu dapat memberi sumbangan terhadap ketahanan dan adaptasi kelompok,
interaksi, dan sistem sosial. Bahasa fungsionalisme yang digunakan seolah-olah
menyesuaikan dengan definisi konflik sosial yang ditemukan coser sendiri.
Meskipun definisi ini memfokuskan pada adanya pertentangan, perjuangan
memperoleh sumber yang langka, yakni di mana setiap orang berusaha mendapatkan
keuntungan yang lebih dari orang lain, namun coser menafsirkannya dengan
menyatakan bahwa konflik itu bersifat fungsional (baik) dan bersifat
disfungsional (buruk) bagi hubungan-hubungan dan struktur-struktur yang tidak
terangkum dalam sistem sosial sebagai suatu keseluruhan.
Jika model ini mempertimbangan
masyarakat sebagai suatu bentuk yang majemuk yang memiliki kepentingan yang
saling bertentangan, dan jika model dalam kelompok itu menggambarkan adanya dua
individu atau lebih, maka orang hanya mampu menentukan (walaupun hal ini tidak
mudah) adakah tindakan-tindakan spesifik yang mampu mendatangkan keuntungan.
Orang tidak akan mampu menentukan adakah tindakan yang mampu menguntungkan
sistem secara keseluruhan. Kita ambil contoh keluarga sebagai suatu sistem.
Jika suami dan istri dalam suatu keluarga sedang bertengkar kemudian mereka
dapat memecahkan kembali konflik tersebut tanpa adanya perceraian maka dapat
dinyatakan bahwa sistem yang khusus dalam suatu keseluruhan tersebut akan
selalu dipertahankan dan tidak dapat dirusak. Tetapi adakah konflik dalam
pengertian yang fungsional (baik) atau disfungsional (buruk) bagi suatu sistem
itu? Kita tidak akan pernah mengatahui hal tersebut. Pelajaran yang dapat
diambil dari konflik itu adalah kelangsungan keluarga tersebut adalah akibat
dari tindakan khusus pula dari berbagai pihak, misalnya akibat jasa dari suami,
istri atau jasa anak-anak mereka yang membangn kesamaan pandangan atau
kompromi. Apa yang harus dibayar untuk mempertahankan sistem tersebut dan
seterusnya. Dalam kasus yang lebih luas lagi yang terdiri dari beberapa yang
mengalami konflik kepentingan masing-masing, hal ini tidak akan bermakna jika
membahas fungsional dan disfungsional bagi sistem secara keseluruhan.
Merujuk pada gagasan Simmel dalam
pengertian fungsionalisme, Coser seringkali menyimpang dari pengertian
tersebut. Simmel menyatakan bahwa oposisi terhadap asosiasi hanya digunakan
sebagai alat agar dapat melangsungkan kehidupan masyarakat yang sulit untuk
diperbaiki. Ia lantas menyatakan bahwa peniadaan oposisi membuat anggota
kelompok tersebut dapat mengadakan pemisahan dan mengakhiri hubungan tersebut.
Sehubungan dengan tekanan dan
oposisi, serta konsekuensinya terhadap individu secara keseluruhan dalam total
versi konflik fungsional yang dikemukakan Coser. Kita dapat melihat bahwa
rumusan Simmel banyak memberi sumbangan terhadap ide-ide Coser : “Simmel
menyatakan bahwa ungkapan perumusan di dalam konflik membantu fungsi-fungsi
positif, sepanjang konflik itu dapat mempertahankan perpecahan kelompok dengan
cara menarik orang-orang yang sedang konflik. Jadi konflik itu dipahami sebagai
suatu alat yang berfungsi untuk menjaga kelompok sepanjang dapat mengatur
sistem-sistem hubungan”.
Terminologi tradisional mengenai
kekuasaan, dominasi, konflik kepentingan akan dapat mengungkapkan ide-ide
secara jelas. Sebaliknya, terminologi fungsionalisme hanya akan mengaburkan ide
ini dengan membelokkan realitas dominasi kepada non realita, yakni adaptasi
sistem.
B. Teori Struktural Fungsional
Menurut pemikiran seorang ahli
bernama Talcott Parsons dalam buku Teori Sosiologi (2012) karya George
Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma (1992) karya George Ritzer.
Teori
Struktural fungsional berasal dari pemikiran Emile Durkheim, dimana masyarakat
dilihat sebagai suatu sistem yang didalamnya terdapat sub-sub sistem yang
masing-masingnya mempunyai fungsi untuk mencapai keseimbangan dalam masyarakat.
Teori ini berada pada level makro yang memusatkan perhatiannya pada struktur
sosial dan institusi sosial berskala luas, antarhubungannya, dan pengaruhnya
terhadap masyarakat. Sumbangsih Durkheim bagi struktur teoritis Parsons adalah
pada penyatuan sistem sosial, dimana masyarakat menjadi sebuah kesatuan yang
suci melalui keseimbangan dari masing-masing bagiannya. Elemen-elemen dalam
masyarakat menjadi saling tergantung dan bersifat mengatur, untuk kebutuhan
sistem.
Teori Fungsionalisme Struktural yang
dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan
teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang
tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu
didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang
disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana
(alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi,
dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.
Prinsip-prinsip pemikiran menurut
Talcott Parsons, “tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di
samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti,
sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.”
Secara normatif tindakan tersebut
diatur berkenaan dengan penentuan alat dan tujuan atau dengan kata lain dapat
dinyatakan bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil
dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan norma.
Dengan demikian, dalam tindakan
tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada
akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu
dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan
dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa
selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan
oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi
nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya
dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
Teori Fungsionalisme Struktural
menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan
dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem
sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka
struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Sistem memiliki
properti keteraturan dan bagian-bagian yang tergantung. Sistem cenderung
bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan. Sifat dasar
bagian suatu sistemsberpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain.
SistemSmemelihara batas-batas dengan lingkungan. Alokasi dan integrasi
merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan
sistem. Sistem cenderung menjaga keseimbangan meliputi: pemeliharaan batas dan
pemeliharaan hubungan antara bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan
lingkungan yang berbeda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem
dari dalam.
Asumsi dasar dari Teori
Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar
kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang
mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut
dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu
keseimbangan. Dengan demikian masyarakat merupakan kumpulan sistem-sistem
sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
Teori Fungsionalisme Struktural
milik Talcott Parsons merupakan penilaian tentang masalah, kejadian, fakta
serta pengalaman-pengalaman yang menekankan pada keteraturan, keseimbangan
sebuah sistem yang ada di masyarakat atau lembaga. Talcott Parsons menolak
adanya konflik di dalam masyarakat. Karena Talcott Parsons berpikir bahwa
masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat merupakan masalah-masalah yang
mempunyai fungsi positif maupun fungsi negatif. Sehingga sistem-sistem yang ada
di masyarakat maupun lembaga-lembaga masyarakat mempunyai peran serta fungsinya
masing-masing.
Talcott Parsons dalam menguraikan
teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan
fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan
terorganisir secara simbolis : pencarian pemuasan psikis, kepentingan dalam
menguraikan pengrtian-pengertian simbolis, kebutuhan untuk beradaptasi dengan
lingkungan organis-fisis, dan usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota
makhluk manusia lainnya.
Sebaliknya masing-masing sub-sistem
itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan
sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling
ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan :“secara konkrit,
setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu
kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem
sosial, dan peserta dalam sistem cultural.”
Fungsionalisme struktural sering
menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. Sistem
ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung yang
mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai,
rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka
struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat
berubah. Karena sistem cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut
selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi
yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan
kehidupan manusia. Selain itu, Teori Fungsionalisme Struktural meyakini bahwa
perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan upaya masyarakat guna
mencapai keseimbangan atau kestabilan baru. Dalam berbagai kondisi, masyarakat
berupaya beradaptasi dan menyusun kembali dirinya hingga menemukan keseimbangan
baru yang lebih mantap.
C. Teori Interaksi Simbolik
Menurut pemikiran para ahli yang
bernama M. Francis Abraham, Horton, Paul. B dan Chester L. Hunt
yang terangkum dalam buku Interaksionisme
Simbolik Perspektif Sosiologi Modern (2001) karya Riyadi Soeprapto (akses
via website www.averroes.or.id).
Inti
pandangan pendekatan ini (teori interaksi simbolik) adalah individu. Para ahli
di belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting
dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa
secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu
yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama
sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929),
yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok.
Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan
menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan
kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert
Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959). Seperti yang dikatakan Francis Abraham
dalam Modern Sociological Theory (1982), bahwa interaksionisme simbolik pada
hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang
terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan
struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau
sifat-sifat batin yang bersifat dugaan. Interaksionisme simbolik memfokuskan
diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan
hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis, sementara
sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang
statis “di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun
pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya
memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas
psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses
pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi
tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi
manusia. Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai
dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas
muncul dalam proses interaksi. Herbert Blumer, sebagaimana dikutip oleh Abraham
(1982) salah satu arsitek utama dari interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah
‘interaksi simbolik’ tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari
interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta
bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain
dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain.
Jadi, interaksi manusia dimediasi
oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna
dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses
interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia. Pendekatan
interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif
dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Pendekatan
interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan
bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup
unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu
tersebut adalah virtual. Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu
pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara
konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam
konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan
oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada
interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti
apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.
Dari sini kita bisa membedakan teori
interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat
arti dasar pemikiran yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.Teori
interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi
sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari
cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga
interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai
kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu
saat mereka berinteraksi.
D. Teori Pertukaran
Menurut pemikiran beberapa ahli
yang terangkum dalam buku Teori
Sosiologi Modern (2004) karya George Ritzer & Douglas J. Goodman, dan
buku Intrapersonal Relation : A Theory
of interdepedence (1978) karya Kelley, H. H. & Thibaut, J. W (akses via
website ensisklo.com)
Teori
pertukaran sosial adalah teori yang berkaitan dengan tindakan sosial yang
saling memberi atau menukar objek-objek yang mengandung nilai antar-individu
berdasarkan tatanan sosial tertentu. Adapun objek yang dipertukarkan bukanlah
benda nyata, melainkan hal-hal yang tidak nyata, menyangkut perasaan sakit,
beban hidup, harapan, pencapaian sesuatu.
Empat konsep pokok teori ini yakni
ganjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan; Ganjaran ialah setiap akibat
yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran
berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya.
Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu
hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan
keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang menghabiskan sumber
kekayaan individu atau efek yang tidak menyenangkan.
Hasil atau laba adalah
ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa, dalam suatu hubungan
interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari
hubungan lain yang mendatangkan laba. Tingkat
perbandingan menunjukkan ukuran standar yang dipakai sebagai kriteria
dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang.
Setiap individu menjalin pertemanan
tentunya mempunyai tujuan. Individu tersebut pasti diharapkan membantu jikalau
dibutuhkan, dan memberikan dukungan dikala sedih. Akan tetapi mempertahankan
hubungan persahabatan itu juga membutuhkan biaya tertentu, seperti waktu dan
energi. Jika imbalan dirasakan tidak cukup atau lebih banyak dari biaya, maka
interaksi kelompok akan diakhiri.
Asumsi teori pertukaran ini adalah :
manusia pada dasarnya dalam berinteraksi senantiasa mencari keuntungan.
Walau senantiasa berusaha mendapatkan keuntungan dari interaksinya, tetapi
mereka dibatasi oleh sumber-sumber yang tersedia. Walau senantiasa berusaha
mendapatkan keuntungan material, tetapi mereka melibatkan dan menghasilkan
hal-hal yang bersifat non-material seperti emosi, perasaan suka, sentimen.
Kemunculan teori pertukaran sosial
sebagai respon atas aliran fungsional struktural yang terlalu memperhatikan
struktur sosial dan melupakan manusia sebagai individu. Tidak heran kalau teori
berkaitan dan mengambil psikologi eksperimental. Selain itu teori juga
berhubungan dengan filsafat hedonisma, ekonomi dari pemikiran Adam Smith.
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah
psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961),
Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964).
Teori pertukaran sosial George
Homans, perhatian utamanya lebih tertuju pada pola-pola penguatan, sejarah
imbalan, dan biaya yang menyebabkan orang melakukan apa-apa yang mereka
lakukan. Homans menyatakan bahwa orang terus mengerjakan apa-apa yang di masa
lalu mendapat imbalan. Sebaliknya, orang akan berhenti melakukan sesuatu yang
telah terbukti menimbulkan kerugian individual.
Thibaut dan Kelley, mendefinisikan
pertukaran sosial sebagai hubungan sukarela yang terjadi antara dua orang dan
saling memuaskan kedua belah pihak (ada ganjaran dan biaya), pertukaran sosial
didasarkan untung rugi.
Peter Blau menyatakan tindakan orang
tergantung reaksi dan penghargaan orang lain, bahwa pertukaran sosial merupakan
proses pertukaran atau transaksi antarindividu yang meningkat ke diferensiasi
status dan kekuasaan yang mengarah ke legitimasi dan pengorganisasian yang
menyebarkan bibit dari oposisi dan perubahan (pertukaran antarindividu dan
kelompok dalam struktur sosial).
Tatanan sosial menurut teori
pertukaran sosial sangat berkaitan dengan: siapa yang berhubungan secara tetap,
siapa yang memperoleh ganjaran, siapa yang perlu ganjaran, bagaimana mereka
melakukan interaksi, dan bagaimana membina derajat pertukaran dalam interaksi
itu. Dalam suatu kelompok yang memiliki hirarki, urutan tatanan ditandai dengan
kepatuhan pada siapa, siapa yang duduk di meja utama, dan indikasi-indikasi
lainnya.
Teori
ini kiranya bisa dipakai untuk menganalisa fenomena keberadaan pelacuran,
peredaran narkoba di perkotaan, dan politik uang sewaktu pemilihan umum atau
pilkada. Meski begitu, teori ini dikritik karena cenderung psikologis dan
ekonomis, yang dalam beberapa hal mengabaikan nilai esensial manusia dan
struktur sosial.
C. Penjelasan
Teori Konflik, Teori Struktural Fungsional, Teori Interaksi Simbolik, dan Teori
Pertukaran Sosial dalam Realita Kehidupan Masyarakat dan Dinamika Birokrasi di
Indonesia
Dalam
kehidupan bermasyarakat di Indonesia, istilah konflik sosial pada umumnya
dijabarkan sebagai sesuatu yang mengandung suatu rangkaian fenomena
pertentangan antar pribadi yang berawal dari perbedaan perndapat sampai pada
pertentangan dan peperangan. Stigma masyarakat terhadap konflik sosial selalu
mengarah pada sisi negatif. Mereka selalu melihat konflik sosial menghasilkan
hasil akhir yang sama-sama merugikan kedua belah pihak yang sedang mengalami
konflik.
Di tempat manapun, kapanpun dan oleh
siapapun, sebuah konflik tidak bisa dihindarkan. Konflik adalah sebuah fenomena
yang pasti terjadi di dalam sekelompok orang di tempat yang sama. Begitupun
dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Padahal menurut Coser, penekanan
konflik dapat dilihat pada sisi positif yakni bagaimana konflik itu dapat
memberi sumbangan terhadap ketahanan dan adaptasi kelompok, interaksi, dan
sistem sosial. Dalam dunia birokrasi di Indonesia, fenomena konflik sudah umum
terjadi. Dan masyarakat pun sudah ‘ditancapkan’ dalam pikirannya bahwa konflik
dalam birokrasi di Indonesia adalah salah satu indikator ketidakbecusannya para birokrat dalam menjalankan tanggung
jawabnya.
Teori struktural fungsional
menekankan pada kehidupan bermasyarakat yang terstruktur sebagai sebuah sistem
yang terdiri dari berbagai sub-sistem yang masing-masing mempunyai fungsi untuk
mencapai suatu keseimbangan dalam masyarakat. Kehidupan bermasyarakat di
Indonesia adalah masyarakat yang terstruktur, baik itu berupa struktur
administratif kelembagaan atau instansi (formal) maupun berupa struktur yang
tidak tampak (non-formal). Kehidupan bermasyarakat di Indonesia berasaskan pada
gotong royong (yang artinya sinonim dengan kerjasama), yang mengakibatkan
terbentuknya suatu struktur yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Terbentuknya berbagai struktur fungsional ini adalah suatu dampak dari
kebersamaan dan terintegrasinya berbagai elemen masyarakat sehingga
menghasilkan suatu fungsi yang serasi. Dalam birokrasi di Indonesia, sudah
jelas bahwa struktur fungsional adalah hal yang mutlak agar tercapainya tujuan
bersama, demi kepentingan rakyat. Meskipun saat ini masih ada struktur yang
fungsi nya kurang jelas, dan beberapa tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Teori interaksi simbolik membahas
tentang interaksi antar individu dan kelompok yang menggunakan simbol-simbol,
yang didalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Interaksionisme
simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat
sosial-psikologis.Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu
pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara
konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam
konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan
oleh orang lain.
Dalam kehidupan bermasyarakat di
Indonesia, interaksi simbolis dalam hal ini adalah suatu tanda atau sikap yang
ditunjukkan oleh seorang individu dalam melakukan kegiatannya. Misalkan, ada
seseorang yang terlihat sedang melakukan sesuatu yang tidak biasa, maka
masyarakat sekitar akan melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang baru,
misterius, perlu ditelaah dan dikonfirmasi. Hal ini juga dapat disebut sebagai
interaksi. Namun pada dasarnya, dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia,
ketika melihat sesuatu yang tidak biasa (sebagai bagian dari suatu interaksi
simbolik), maka mereka akan cenderung pasif dan tidak menyampaikan pendapat
mereka tentang apa yang mereka lihat (menyimpan dalam pikiran sendiri). Dan
jika sudah mencapai suatu ‘titik tertinggi’ dan tidak bisa ditahan lagi
(penasaran), maka mereka cenderung untuk bertanya terlebih dahulu kepada
orang-orang di sekitar terkait dengan perilaku tidak biasa tersebut, namun
masih memiliki praduga baik. Hal tersebut pun berlaku dalam kehidupan birokrasi
di Indonesia.
Teori pertukaran sosial adalah teori
yang berkaitan dengan tindakan sosial yang saling memberi atau menukar
objek-objek yang mengandung nilai antar-individu berdasarkan tatanan sosial
tertentu. Adapun objek yang dipertukarkan bukanlah benda nyata, melainkan
hal-hal yang tidak nyata, menyangkut perasaan sakit, beban hidup, harapan,
pencapaian sesuatu. Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, pertukaran
sosial adalah sesuatu yang sudah terjadi sejak zaman dahulu, atau lebih
tepatnya sejak zaman awal penjajahan. Mereka saling berpangku dan berbagi
pahitnya nasib kehidupan mereka di saat itu. Mereka berbagi kesedihan dan
penderitaan, agar dapat saling merangkul dan berdiri tegar meskipun sedang
tersiksa oleh penjajahan. Hal positif seperti ini masih ada sampai sekarang.
Istilah 'senasib sepenanggungan', yang berdampak positif terhadap kebersamaan
dan kepedulian antar individu dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia,
adalah salah satu bagian dari pertukaran sosial. Mereka saling membantu satu
sama lain sebagai orang-orang yang 'senasib sepenanggungan', dan menganggap
orang lain adalah keluarganya sendiri. Namun mirisnya, saat ini hal tersebut
sudah mulai pudar. Perkembangan teknologi smartphone mengakibatkan kurangnya
kepedulian antar individu. Sikap apatis adalah salah satu dampak buruk yang
terjadi saat ini. Keadaan yang sama pun terjadi dalam kehidupan birokrasi di
Indonesia. Pada zaman sekarang, kepentingan yang didahulukan adalah kepentingan
golongan diatas kepentingan rakyat. Istilah 'senasib sepenanggungan' saat ini
hanya terngiang di telinga para birokrat. Padahal, sejatinya mereka juga
berasal dari rakyat.