Translate

Senin, 11 Desember 2017

Proposisi Dalam Ilmu Sosial, Penjelasan Teori Konflik, Teori Struktural Fungsional, Teori Interaksi Simbolis, dan Teori Pertukaran Sosial Beserta Penjelasannya Dalam Realita Kehidupan Masyarakat dan Dinamika Birokrasi di Indonesia



1.) Proposisi dalam Ilmu Sosial

Proposisi adalah hubungan yang logis antara dua konsep. Dalam pengertian lain, proposisi adalah kesimpulan teoritik konsepsional tentang konstelasi hubungan antar variabel sebagai jawaban teoritik. Proposisi merupakan ungkapan atau pernyataan yang dapat dipercaya, disangkal atau diuji kebenarannya, mengenai konsep atau konstruk yang menjelaskan atau memprediksi fenomena-fenomena. Proposisi yang dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara empiris disebut hipotesis.
             
Kegunaan Proposisi dalam metodologi penelitian merupakan ungkapan atau pernyataan yang dapat dipercaya, disangkal atau diuji kebenarannya, mengenai konsep atau konstruk yang menjelaskan atau memprediksi fenomena.
             
Ada dua tipe proposisi yaitu : Aksioma atau Postulat, yaitu proposisi yang kebenarannya tidak perlu dipertanyakan lagi, sehingga tidak perlu diuji dengan sebuah penelitian. Lalu tipe yang kedua yaitu Teorema, proposisi yang dideduksikan dari aksioma. Aksioma banyak digunakan dalam ilmu-ilmu eksakta sedangkan dalam ilmu sosial aksioma sangat jarang, karena yang menjadi perhatian peneliti adalah teorema inti. Jenis-jenis proposisi terbagi menjadi empat jenis, yaitu proposisi berdasarkan bentuk, sifat, kualitas, dan kuantitas.

Berikut ini adalah contoh proposisi dalam ilmu Sosial yang saya buat sendiri :

a.) Ojek Online di Kota Bandung dilarang karena perizinannya yang kurang jelas
b.) Setya Novanto berpura-pura sakit untuk menghindari status tersangka atas dugaan kasus E-KTP
c.) Kasus ‘Bayi Debora’ terjadi akibat kelalaian pihak administrasi BPJS di rumah sakit tempat Debora merujuk.

2.) Pandangan Para Ahli terhadap Teori Konflik, Teori Struktural Fungsional, Teori Interaksi Simbolik, dan Teori Pertukaran Sosial

A. Teori Konflik

Menurut pemikiran seorang ahli bernama Lewis Coser dalam bukunya yang berjudul The Fungtions of Social Conflict  (cetakan asli tahun 1956).

Istilah konflik sosial pada umumnya mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan antar pribadi melalui konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional. Lewis Coser dalam bukunya yang berjudul “The Fungtions of Social Conflict”, mengemukakan bahwa tidak ada teori konflik sosial yang mampu merangkum seluruh fenomena tersebut. Oleh karenanya ia tidak ingin mengkonstruksi teori umum, tetapi ia ingin karyanya sebagai suatu usaha untuk menjelaskan konsep konflik sosial serta mengkonsolidasikan skema konsep sesuai dengan data yang berlangsung dalam konflik sosial tersebut. Caranya adalah membuat elaborasi dan menggambarkan wawasan serta ide-ide yang ditarik dari karya George Simmel.
             
Pandangan Coser tidak lepas dari tidak lepas dari kritiknya atas sosiologi Amerika waktu itu yang mulai melupakan pembicaraan konflik. Para sosiolog Amerika yang ramai-ramai mengembangkan fungsionalisme telah menggeser tradisi berpikir sosiologi sebelumnya yang berbentuk sosiologi murni menuju corak sosiologi terapan (applied sociology). Dalam bukunya “The Fungtions of Social Conflict” Coser mengkritik gagasan-gagasan Parson yang lebih mengupas mengenai keseimbangan dan konsensus dibanding membahas mengenai konflik secara mendalam.
             
Coser memulainya dengan mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan tergahap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan, atau dieliminir saingan-saingannya. Dengan definisi semacam ini hal-hal yang esensial tidak perlu dipertentangkan. Tetapi ini berarti bahwa perhatian terhadap pernyataannya dan implikasinya merupakan suatu permasalahan yang lain, sebab dengan pernyataan itu menunjukan bahwa Coser telah menggunakan istilah yang problematis dan samar-samar, tidak kritis serta menggunakannnya dalam asumsi-asumsi fungsionalisme. Perhatian Coser berkaitan dengan fungsi dan disfungsinya konflik sosial. Jadi dapat dikatakan bahwa konsekuensi konflik bukan mengarah pada kemerosotan melainkan peningkatan, adaptasi dan penyesuaian baik dalam hubungan sosial yang spesifik maupun pada kelompok secara keseluruhan.
             
Coser menyatakan bahwa konflik sosial seringkali diabaikan oleh para sosiolog, karena mayoritas cenderung menekankan konflik pada sisi negatif yang telah meremehkan tatanan, stabilitas, dan persatuan atau dengan kata lain menggambarkan keadaan yang terpecah-belah. Coser ingin memperbaikinya dengan menekankan konflik pada sisi positif yakni bagaimana konflik itu dapat memberi sumbangan terhadap ketahanan dan adaptasi kelompok, interaksi, dan sistem sosial. Bahasa fungsionalisme yang digunakan seolah-olah menyesuaikan dengan definisi konflik sosial yang ditemukan coser sendiri. Meskipun definisi ini memfokuskan pada adanya pertentangan, perjuangan memperoleh sumber yang langka, yakni di mana setiap orang berusaha mendapatkan keuntungan yang lebih dari orang lain, namun coser menafsirkannya dengan menyatakan bahwa konflik itu bersifat fungsional (baik) dan bersifat disfungsional (buruk) bagi hubungan-hubungan dan struktur-struktur yang tidak terangkum dalam sistem sosial sebagai suatu keseluruhan.
            
Jika model ini mempertimbangan masyarakat sebagai suatu bentuk yang majemuk yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan, dan jika model dalam kelompok itu menggambarkan adanya dua individu atau lebih, maka orang hanya mampu menentukan (walaupun hal ini tidak mudah) adakah tindakan-tindakan spesifik yang mampu mendatangkan keuntungan. Orang tidak akan mampu menentukan adakah tindakan yang mampu menguntungkan sistem secara keseluruhan. Kita ambil contoh keluarga sebagai suatu sistem. Jika suami dan istri dalam suatu keluarga sedang bertengkar kemudian mereka dapat memecahkan kembali konflik tersebut tanpa adanya perceraian maka dapat dinyatakan bahwa sistem yang khusus dalam suatu keseluruhan tersebut akan selalu dipertahankan dan tidak dapat dirusak. Tetapi adakah konflik dalam pengertian yang fungsional (baik) atau disfungsional (buruk) bagi suatu sistem itu? Kita tidak akan pernah mengatahui hal tersebut. Pelajaran yang dapat diambil dari konflik itu adalah kelangsungan keluarga tersebut adalah akibat dari tindakan khusus pula dari berbagai pihak, misalnya akibat jasa dari suami, istri atau jasa anak-anak mereka yang membangn kesamaan pandangan atau kompromi. Apa yang harus dibayar untuk mempertahankan sistem tersebut dan seterusnya. Dalam kasus yang lebih luas lagi yang terdiri dari beberapa yang mengalami konflik kepentingan masing-masing, hal ini tidak akan bermakna jika membahas fungsional dan disfungsional bagi sistem secara keseluruhan.
             
Merujuk pada gagasan Simmel dalam pengertian fungsionalisme, Coser seringkali menyimpang dari pengertian tersebut. Simmel menyatakan bahwa oposisi terhadap asosiasi hanya digunakan sebagai alat agar dapat melangsungkan kehidupan masyarakat yang sulit untuk diperbaiki. Ia lantas menyatakan bahwa peniadaan oposisi membuat anggota kelompok tersebut dapat mengadakan pemisahan dan mengakhiri hubungan tersebut.
            
Sehubungan dengan tekanan dan oposisi, serta konsekuensinya terhadap individu secara keseluruhan dalam total versi konflik fungsional yang dikemukakan Coser. Kita dapat melihat bahwa rumusan Simmel banyak memberi sumbangan terhadap ide-ide Coser : “Simmel menyatakan bahwa ungkapan perumusan di dalam konflik membantu fungsi-fungsi positif, sepanjang konflik itu dapat mempertahankan perpecahan kelompok dengan cara menarik orang-orang yang sedang konflik. Jadi konflik itu dipahami sebagai suatu alat yang berfungsi untuk menjaga kelompok sepanjang dapat mengatur sistem-sistem hubungan”.
            Terminologi tradisional mengenai kekuasaan, dominasi, konflik kepentingan akan dapat mengungkapkan ide-ide secara jelas. Sebaliknya, terminologi fungsionalisme hanya akan mengaburkan ide ini dengan membelokkan realitas dominasi kepada non realita, yakni adaptasi sistem.

B. Teori Struktural Fungsional

Menurut pemikiran seorang ahli bernama Talcott Parsons dalam buku Teori Sosiologi (2012) karya George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma (1992) karya George Ritzer.

Teori Struktural fungsional berasal dari pemikiran Emile Durkheim, dimana masyarakat dilihat sebagai suatu sistem yang didalamnya terdapat sub-sub sistem yang masing-masingnya mempunyai fungsi untuk mencapai keseimbangan dalam masyarakat. Teori ini berada pada level makro yang memusatkan perhatiannya pada struktur sosial dan institusi sosial berskala luas, antarhubungannya, dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Sumbangsih Durkheim bagi struktur teoritis Parsons adalah pada penyatuan sistem sosial, dimana masyarakat menjadi sebuah kesatuan yang suci melalui keseimbangan dari masing-masing bagiannya. Elemen-elemen dalam masyarakat menjadi saling tergantung dan bersifat mengatur, untuk kebutuhan sistem.
             
Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.
             
Prinsip-prinsip pemikiran menurut Talcott Parsons, “tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.”
             
Secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat dan tujuan atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan norma.
             
Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
             
Teori Fungsionalisme Struktural menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang tergantung. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan. Sifat dasar bagian suatu sistemsberpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain. SistemSmemelihara batas-batas dengan lingkungan. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem. Sistem cenderung menjaga keseimbangan meliputi: pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.
             
Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
             
Teori Fungsionalisme Struktural milik Talcott Parsons merupakan penilaian tentang masalah, kejadian, fakta serta pengalaman-pengalaman yang menekankan pada keteraturan, keseimbangan sebuah sistem yang ada di masyarakat atau lembaga. Talcott Parsons menolak adanya konflik di dalam masyarakat. Karena Talcott Parsons berpikir bahwa masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat merupakan masalah-masalah yang mempunyai fungsi positif maupun fungsi negatif. Sehingga sistem-sistem yang ada di masyarakat maupun lembaga-lembaga masyarakat mempunyai peran serta fungsinya masing-masing.
             
Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan terorganisir secara simbolis : pencarian pemuasan psikis, kepentingan dalam menguraikan pengrtian-pengertian simbolis, kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan usaha untuk berhubungan dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.
             
Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan :“secara konkrit, setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan sistem sosial, dan peserta dalam sistem cultural.”
            
Fungsionalisme struktural sering menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. Sistem ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung yang mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai, rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena sistem cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Selain itu, Teori Fungsionalisme Struktural meyakini bahwa perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat merupakan upaya masyarakat guna mencapai keseimbangan atau kestabilan baru. Dalam berbagai kondisi, masyarakat berupaya beradaptasi dan menyusun kembali dirinya hingga menemukan keseimbangan baru yang lebih mantap.

C. Teori Interaksi Simbolik

Menurut pemikiran para ahli yang bernama M. Francis Abraham, Horton, Paul. B dan Chester L. Hunt yang terangkum dalam buku Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern (2001) karya Riyadi Soeprapto (akses via website www.averroes.or.id).

Inti pandangan pendekatan ini (teori interaksi simbolik) adalah individu. Para ahli di belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.
             
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959). Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982), bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan. Interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis, sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang.
             
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia. Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul dalam proses interaksi. Herbert Blumer, sebagaimana dikutip oleh Abraham (1982) salah satu arsitek utama dari interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah ‘interaksi simbolik’ tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain.
             
Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia. Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.
             
Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi.

D. Teori Pertukaran

Menurut pemikiran beberapa ahli yang terangkum dalam buku Teori Sosiologi Modern (2004) karya George Ritzer & Douglas J. Goodman, dan buku Intrapersonal Relation : A Theory of interdepedence (1978) karya Kelley, H. H. & Thibaut, J. W (akses via website ensisklo.com)

Teori pertukaran sosial adalah teori yang berkaitan dengan tindakan sosial yang saling memberi atau menukar objek-objek yang mengandung nilai antar-individu berdasarkan tatanan sosial tertentu. Adapun objek yang dipertukarkan bukanlah benda nyata, melainkan hal-hal yang tidak nyata, menyangkut perasaan sakit, beban hidup, harapan, pencapaian sesuatu.
             
Empat konsep pokok teori ini yakni ganjaran, biaya, laba, dan tingkat perbandingan; Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dari suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan, dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang menghabiskan sumber kekayaan individu atau efek yang tidak menyenangkan.
             
Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila seorang individu merasa, dalam suatu hubungan interpersonal, bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba. Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran standar yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada waktu sekarang.  
             
Setiap individu menjalin pertemanan tentunya mempunyai tujuan. Individu tersebut pasti diharapkan membantu jikalau dibutuhkan, dan memberikan dukungan dikala sedih. Akan tetapi mempertahankan hubungan persahabatan itu juga membutuhkan biaya tertentu, seperti waktu dan energi. Jika imbalan dirasakan tidak cukup atau lebih banyak dari biaya, maka interaksi kelompok akan diakhiri.
             
Asumsi teori pertukaran ini adalah :  manusia pada dasarnya dalam berinteraksi senantiasa mencari keuntungan. Walau senantiasa berusaha mendapatkan keuntungan dari interaksinya, tetapi mereka dibatasi oleh sumber-sumber yang tersedia. Walau senantiasa berusaha mendapatkan keuntungan material, tetapi mereka melibatkan dan menghasilkan hal-hal yang bersifat non-material seperti emosi, perasaan suka, sentimen.
            
Kemunculan teori pertukaran sosial sebagai respon atas aliran fungsional struktural yang terlalu memperhatikan struktur sosial dan melupakan manusia sebagai individu. Tidak heran kalau teori berkaitan dan mengambil psikologi eksperimental. Selain itu teori juga berhubungan dengan filsafat hedonisma, ekonomi dari pemikiran Adam Smith. Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964).
             
Teori pertukaran sosial George Homans, perhatian utamanya lebih tertuju pada pola-pola penguatan, sejarah imbalan, dan biaya yang menyebabkan orang melakukan apa-apa yang mereka lakukan. Homans menyatakan bahwa orang terus mengerjakan apa-apa yang di masa lalu mendapat imbalan. Sebaliknya, orang akan berhenti melakukan sesuatu yang telah terbukti menimbulkan kerugian individual.
             
Thibaut dan Kelley, mendefinisikan pertukaran sosial sebagai hubungan sukarela yang terjadi antara dua orang dan saling memuaskan kedua belah pihak (ada ganjaran dan biaya), pertukaran sosial didasarkan untung rugi.
             
Peter Blau menyatakan tindakan orang tergantung reaksi dan penghargaan orang lain, bahwa pertukaran sosial merupakan proses pertukaran atau transaksi antarindividu yang meningkat ke diferensiasi status dan kekuasaan yang mengarah ke legitimasi dan pengorganisasian yang menyebarkan bibit dari oposisi dan perubahan (pertukaran antarindividu dan kelompok dalam struktur sosial).
             
Tatanan sosial menurut teori pertukaran sosial sangat berkaitan dengan: siapa yang berhubungan secara tetap, siapa yang memperoleh ganjaran, siapa yang perlu ganjaran, bagaimana mereka melakukan interaksi, dan bagaimana membina derajat pertukaran dalam interaksi itu. Dalam suatu kelompok yang memiliki hirarki, urutan tatanan ditandai dengan kepatuhan pada siapa, siapa yang duduk di meja utama, dan indikasi-indikasi lainnya.  

Teori ini kiranya bisa dipakai untuk menganalisa fenomena keberadaan pelacuran, peredaran narkoba di perkotaan, dan politik uang sewaktu pemilihan umum atau pilkada. Meski begitu, teori ini dikritik karena cenderung psikologis dan ekonomis, yang dalam beberapa hal mengabaikan nilai esensial manusia dan struktur sosial.

C. Penjelasan Teori Konflik, Teori Struktural Fungsional, Teori Interaksi Simbolik, dan Teori Pertukaran Sosial dalam Realita Kehidupan Masyarakat dan Dinamika Birokrasi di Indonesia

Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, istilah konflik sosial pada umumnya dijabarkan sebagai sesuatu yang mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan antar pribadi yang berawal dari perbedaan perndapat sampai pada pertentangan dan peperangan. Stigma masyarakat terhadap konflik sosial selalu mengarah pada sisi negatif. Mereka selalu melihat konflik sosial menghasilkan hasil akhir yang sama-sama merugikan kedua belah pihak yang sedang mengalami konflik.
            
Di tempat manapun, kapanpun dan oleh siapapun, sebuah konflik tidak bisa dihindarkan. Konflik adalah sebuah fenomena yang pasti terjadi di dalam sekelompok orang di tempat yang sama. Begitupun dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Padahal menurut Coser, penekanan konflik dapat dilihat pada sisi positif yakni bagaimana konflik itu dapat memberi sumbangan terhadap ketahanan dan adaptasi kelompok, interaksi, dan sistem sosial. Dalam dunia birokrasi di Indonesia, fenomena konflik sudah umum terjadi. Dan masyarakat pun sudah ‘ditancapkan’ dalam pikirannya bahwa konflik dalam birokrasi di Indonesia adalah salah satu indikator ketidakbecusannya para birokrat dalam menjalankan tanggung jawabnya.
             
Teori struktural fungsional menekankan pada kehidupan bermasyarakat yang terstruktur sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai sub-sistem yang masing-masing mempunyai fungsi untuk mencapai suatu keseimbangan dalam masyarakat. Kehidupan bermasyarakat di Indonesia adalah masyarakat yang terstruktur, baik itu berupa struktur administratif kelembagaan atau instansi (formal) maupun berupa struktur yang tidak tampak (non-formal). Kehidupan bermasyarakat di Indonesia berasaskan pada gotong royong (yang artinya sinonim dengan kerjasama), yang mengakibatkan terbentuknya suatu struktur yang saling mempengaruhi satu sama lain. Terbentuknya berbagai struktur fungsional ini adalah suatu dampak dari kebersamaan dan terintegrasinya berbagai elemen masyarakat sehingga menghasilkan suatu fungsi yang serasi. Dalam birokrasi di Indonesia, sudah jelas bahwa struktur fungsional adalah hal yang mutlak agar tercapainya tujuan bersama, demi kepentingan rakyat. Meskipun saat ini masih ada struktur yang fungsi nya kurang jelas, dan beberapa tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
             
Teori interaksi simbolik membahas tentang interaksi antar individu dan kelompok yang menggunakan simbol-simbol, yang didalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis.Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain.
             
Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, interaksi simbolis dalam hal ini adalah suatu tanda atau sikap yang ditunjukkan oleh seorang individu dalam melakukan kegiatannya. Misalkan, ada seseorang yang terlihat sedang melakukan sesuatu yang tidak biasa, maka masyarakat sekitar akan melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang baru, misterius, perlu ditelaah dan dikonfirmasi. Hal ini juga dapat disebut sebagai interaksi. Namun pada dasarnya, dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, ketika melihat sesuatu yang tidak biasa (sebagai bagian dari suatu interaksi simbolik), maka mereka akan cenderung pasif dan tidak menyampaikan pendapat mereka tentang apa yang mereka lihat (menyimpan dalam pikiran sendiri). Dan jika sudah mencapai suatu ‘titik tertinggi’ dan tidak bisa ditahan lagi (penasaran), maka mereka cenderung untuk bertanya terlebih dahulu kepada orang-orang di sekitar terkait dengan perilaku tidak biasa tersebut, namun masih memiliki praduga baik. Hal tersebut pun berlaku dalam kehidupan birokrasi di Indonesia.
             
Teori pertukaran sosial adalah teori yang berkaitan dengan tindakan sosial yang saling memberi atau menukar objek-objek yang mengandung nilai antar-individu berdasarkan tatanan sosial tertentu. Adapun objek yang dipertukarkan bukanlah benda nyata, melainkan hal-hal yang tidak nyata, menyangkut perasaan sakit, beban hidup, harapan, pencapaian sesuatu. Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, pertukaran sosial adalah sesuatu yang sudah terjadi sejak zaman dahulu, atau lebih tepatnya sejak zaman awal penjajahan. Mereka saling berpangku dan berbagi pahitnya nasib kehidupan mereka di saat itu. Mereka berbagi kesedihan dan penderitaan, agar dapat saling merangkul dan berdiri tegar meskipun sedang tersiksa oleh penjajahan. Hal positif seperti ini masih ada sampai sekarang. Istilah 'senasib sepenanggungan', yang berdampak positif terhadap kebersamaan dan kepedulian antar individu dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, adalah salah satu bagian dari pertukaran sosial. Mereka saling membantu satu sama lain sebagai orang-orang yang 'senasib sepenanggungan', dan menganggap orang lain adalah keluarganya sendiri. Namun mirisnya, saat ini hal tersebut sudah mulai pudar. Perkembangan teknologi smartphone mengakibatkan kurangnya kepedulian antar individu. Sikap apatis adalah salah satu dampak buruk yang terjadi saat ini. Keadaan yang sama pun terjadi dalam kehidupan birokrasi di Indonesia. Pada zaman sekarang, kepentingan yang didahulukan adalah kepentingan golongan diatas kepentingan rakyat. Istilah 'senasib sepenanggungan' saat ini hanya terngiang di telinga para birokrat. Padahal, sejatinya mereka juga berasal dari rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar